BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehidupan
manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik
suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa
akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti
makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga
mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang
lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota
masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga
negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung,
berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan
politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah
(non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem
politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur
pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik,
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan,
proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat
terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan
politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas.
Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
-
Apa yang dimaksud
Budaya Politik?
-
Mengapa ada
Budaya Politik?
-
Apa saja
macam-macam Budaya Politik?
C.
Tujuan
-
Memahami apa
yang dimaksud dengan budaya politik
-
Mengetahui
budaya politik apa saja yang ada di dunia
-
Mengetahui
budaya politik yang ada di Ind
BAB II BUDAYA POLITIK
A. Pengertian
Budaya Politik secara umum
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama
oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda
pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat
umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan
Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok
elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka
menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas
pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos.
Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan
rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai
dan norma lain.
b. Budaya politik
dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri
budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau
mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan
pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman
konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.
Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam
memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak
ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat
aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya
fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari
orientasi individual.
B.
Pengertian Budaya Politik menurut para ahli
Alan R.
Ball
Budaya
politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan
nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu
politik.
Austin
Ranney
Budaya
politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan
yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap
objek-objek politik.
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang
berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang
terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol
ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik
dilakukan.
Gabriel A. Almond
Gabriel A. Almond
Budaya politik adalah dimensi
psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan
penting berjalannya sebuah sistem politik.
Miriam Budiardjo
Budaya politik adalah keseluruhan
dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi
terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya.
Marbun
Budaya politik adalah
pandangan politik yang mempengaruhi sikap, orientasi, dan pilihan politik
seseorang, dan budaya politik ini lebih mengutamakan dimensi psikologis dari
suatu sistem politik yaitu sikap, sistem kepercayaan, simbol yang dimiliki
individu dan yang dilaksanakan dalam masyarakat.
Larry Diamond.
Budaya politik adalah
keyakinan, sikap, nilai-nilai, ide-ide, sentimen dan evaluasi suatu masyarakat
tentang sistem politik negeri mereka dan peran masing masing individu dalam
sistem itu.
Mochtar massoed.
Budaya politik adalah
sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara
dan politiknya.
Roy Macridis
Budaya politik adalah sebagai tujuan
bersama dan peraturan yang diterima bersama.
Dennis Kavanagh
Budaya politik adalah sebagai pernyataan
untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap bagaimana sistem politik itu
berlangsung.
Robert Dahl
Budaya politik adalah satu faktor
yang menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik.
Rusadi Kantaprawira
Budaya politik merupakan persepsi
manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik
terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik
masyarakat maupun pemerintah(an), karena sistem politik itu sendiri adalah
interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang
(Kantaprawira, 1999:26).
Brown (1977)
Budaya Politik sebagai persepsi
subyektif tentang sejarah dan politik, keyakinan dan nilai-nilai mendasar,
lokus identifikasi dan loyalitas, serta pengetahuan dan harapan-harapan politik
yang merupakan produk dari pengalaman sejarah khusus dari bangsa/kelompok.
White ( 1979 )
Budaya politik sebagai matriks sikap
dan perilaku dimana system politik berada.
Aaron Wildavskus
Budaya politik secara luas menjelaskan
orang-orang yang menganut nilai-nilai, keyakinan – keyakinan, dan pilihan –
pilihan yang melegitimasi jalan hidup yang berbeda-beda (menekankan pada
keterbukaan terhadap berbagai pendekatan dalam kajian budaya politik).
C. Macam –
macam bentuk budaya Politik
Secara umum budaya politik terbagi
atas tiga :
1.
Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
2.
Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja
dimobilisasi)
3.
Budaya politik partisipatif (aktif)
Tipe-tipe Budaya politik
·
Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di
katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi
penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali
terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat
pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam
masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku,
kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada,
baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
·
Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat
yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih
bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika
terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik
secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan
kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai
struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak
terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara
efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap
sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak
suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang
memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang
di buat oleh pemerintah.
·
Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai
dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan
opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk
budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik
mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang
memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam
membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses
politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi
yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka
terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di indonesia Gambaran
sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya haruus di telaah dan
di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai
berikut :
·
Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam,
walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi
masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih
rawan/rentan.
·
Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di
satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih
ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya
yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh
penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
·
Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di
kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan,
perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non
puritanisme dan lain-lain.
·
kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi
sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di
sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
·
Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan
segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi
dalam masyarakat.
D.
Budaya Politik Indonesia
·
Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di
Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis
ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe)
dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui
tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun
diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing.
Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya,
rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam
kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin
pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
·
Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya
politik yang menonjol di Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam
kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di
kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas
daripada menggali dukungn dari basisnya.
·
Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik
Salah satu kecendrungan dalam
kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya
politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki
atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi, perilaku
negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter
patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
·
Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian
wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi
·
Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tegas
·
Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar
formalyang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
·
Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang
dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi
dan penampilan.
E. Partisipasi
politik
Pada dasarnya membicarakan budaya politik tidak
terlepas dari partisipasi politik warga Negara karena partisipasi politik
merupakan bagian dari budaya politik suatu Negara. Sampai beberapa waktu yang
lalu hak untuk berpartisipasidalam pembuatan keputusan politik dan memberi
suara atau menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi hanya untuk sekelompok
kecil orang yang berkuasa, orang kaya, dan keturunan yang terpandang.
Kecenderungan ke ara partisipasi rakyat yang lebih
luas dalam politik bermula pada masa Renaissance dan Reformasi Abad 15-17, dan
abad 18-19. Namun tata cara masyarakat dalam menuntut hak mereka untuk
berpartisipasi berbeda-beda di setiap Negara.
Partisipasi
Politik adalah kegiatan seseorang
atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
seperti memilih pimpinan Negara atau upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Adapun pengertian
partisipasi menurut para ahli adalah sebagai berikut.
Herbet McClosky : Partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak
langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Norman H.Nie dan Sidney Verba : Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.
Samuel Huntington dan Joan M.Nelson : Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegaal, efektif atau tidak efektif.
Norman H.Nie dan Sidney Verba : Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.
Samuel Huntington dan Joan M.Nelson : Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegaal, efektif atau tidak efektif.
Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah
partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
a.
Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan
masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b.
Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa
yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c.
Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide
demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka
mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
d.
Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik
antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas
menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu
memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas
dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas
pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi
akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah
asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik.
Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
1. kelas – individu-individu dengan
status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
2. kelompok atau komunal –
individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang
serupa.
3. lingkungan – individu-individu yang
jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
4. partai – individu-individu yang
mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk
meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif
pemerintahan, dan
5. golongan atau faksi –
individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara
satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku
atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang
tidak sederajat.
Mode Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata
cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian
besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik
partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi
politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional
adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial
Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro
lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes
mahasiswa (students protest), dan terror.
Bentuk Partisipasi Politik
bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi
di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk
konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (seperti petisi)
maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi
partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas
sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau ketidakpuasan warga
negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond.
Konvensional
|
Non Konvensional
|
Pemberian
suara atau voting
|
Pengajuan
petisi
|
Diskusi
politik
|
Berdemonstrasi
|
Kegiatan
kampanye
|
Konfrontasi
|
Membentuk
dan bergabung dalam kelompok kepentingan
|
Mogok
|
Komunikasi
individual dengan pejabat politik atau administratif
|
Tindak
kekerasan politik terhadap harta benda: perusakan, pemboman, pembakaran.
|
|
Tindak
kekerasan politik terhadap harta benda: perusakan, pemboman, pembakaran.
|
Dalam hal partisipasi politik, Rousseau menyatakan bahwa “Hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam kehidupan politik secara langsung dan bekelanjutan, maka negara dapat terikat ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.”
a.
Berbagai bentuk partisipasi politik
tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara
lain:
Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
b.
Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM)
sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
c.
Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan
kepada warga negara untuk dipilih atau memilih, misalnya kampanye menjadi
pemilih aktif, menjadi anggota DPR, menjadi calon presiden yang dipilih
langsung dan sebagainya.
d.
Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang
memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui
unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagainya.
Jika mode partisipasi politik
bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka
bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan
pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses,
mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang
berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau
kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan
mereka tentang suatu isu;
3. Kegiatan Organisasi – yaitu
partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun
pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4. Contacting – yaitu upaya individu
atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna
mempengaruhi keputusan mereka, dan
5. Tindakan Kekerasan (violence) –
yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah
dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di
sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination),
revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik
menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi
politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk
partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka.
Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik
seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang
berlangsung di dalam skala subyektif individu.
Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian
faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat
dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk
kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection
dan Political Efficacy.
Political Disaffection. Political Disaffection adalah
istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok
terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini
dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut
diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan
istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu
menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami
keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya
dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti
parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa
bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan
mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa
protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political
disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk
partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political
Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik
(partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses
politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak
bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang
menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak
tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu
atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political
Political Efficacy ini.
Pernyataan-pernyataan sehubungan
dengan masalah Political Efficacy ini adalah:
1. “Saya berpikir bahwa para pejabat
itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.”
2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu
adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu
tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.”
3. “Orang seperti saya tidak bisa bicara
apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.”
4. “Kadang masalah politik dan
pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya.”
Political efficacy terbagi 2 yaitu
external political efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy ditujukan
kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan
nomor 1 dan 3. Sementara internal
political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri
individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik,
sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir
jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external political
efficacy tinggi.
F. Sosialisasi
Politik
1. Pengertian
Sosial Politik
Sosialisasi
politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang
berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan
melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Greenstein dalam karyanya "International Encyolopedia of The Social Sciences" 2 definisi sosialisasi politik:
a.
Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman
informasi politik yang disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh
badan-badan instruksional secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b.
Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha
mempelajari politik baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana
pada setiap tahap siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara
eksplisit masalah belajar politik tetapi juga secara nominal belajat bersikap
non politik mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a.
Tingkat Komunitas – Sosialisasi dipahami sebagai proses
pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan
nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b.
Tingkat Individual – Proses sosialisasi politik dapat
dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan
politik mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan jati diri melainkan juga merupakan proses pembentukan anak menjadi mahluk social dengan cara membuka suatu dataran luas kemungkinan perkembnagan jati diri.
2. Agen Sosialisasi Politik
1.
Keluarga
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
2.
Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa. Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen sosialisasi politik yang sangat penting pada masa anak-anak berada di sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guru-guru sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses belajar sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber di dalam factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting dalam sosialisasi politik yaitu:
·
Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok
pertemanan terhadap anggota mereka.
·
Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang
di dalamnya.
Kelompok
pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa
cara yaitu:
1.
Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari
informasi dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan
berfungsi sebagai “communication channels”.
2.
Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat
penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik yang
lebih khusus tentang dunia politik.
3.
Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan
mereka untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima
oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk
menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam
memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap
norma-norma keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad
amereka yang menyimpang.
4.
Pekerjaan Organisasi-organisasi formal maupun
non formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat
buruh, klub social dan yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi
dan keyakinan yang jelas.
5. Media Massa
Media
massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang peran
penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada
bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang
informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang
dianut oleh masyarakatnya.
6. Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.
3. Metode Sosialisasi Politik
1. Imitasi
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik.
Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik.
Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
a. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami
proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki
sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan
interpersonal.
b. Magang
Metode belajat magang ini terjadi
katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam
situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang
pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat
politik
c. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
Proses sosialisasi langsung terjadi
melalui:
o
Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
o
Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi
peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang
yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau
posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai
dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
o
Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper
orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu
yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah,
lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi
yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi
kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan
informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat
memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus
memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi
oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat
terpelihara.
o
Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh
seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari
pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.
G.
Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral
sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh
contoh negara Turki, di mana satu
usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung
sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha
Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk
memodernisasi Turki, tidak hanya
secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting
dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang,
yaitu sebagai berikut :
a. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat
industrialisasi dan pendidikan.
b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat
terikat pada nilai tradisonal. Namun, si
Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat
sosialisasi dini dari anak.
c. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa
untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai
ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya
dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan
dan etnis di daerah-daerah ini.
H.
Sosialisasi Politik
dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang
bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya
kontribusi, berkaitan dengan sifat dari
pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi
utama dari sosialisasi politik Sebaliknya,
semakin besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari
sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat
perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional (cross-national) mengenai
kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko,
mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh
penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang
meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf
tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan
orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan
orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan
sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya.
Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk
mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan
di Meksiko merupakan bentuk campuran antara penerimaan terhadap teori politik
dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep
kebudayaan politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu
dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem
politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima
lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga
tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
I.
Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu
proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional
learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai
(sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang
menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik
dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah
jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula
sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik
tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi
menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur
dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara
pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda
masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata
“terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya
belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu
sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang
berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola
sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur
dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan
tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang
beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses
induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik yang
dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi
(pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem
politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga
mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan
mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap sistem, dan output
otorotatif-nya.
trimakasih atas bahan materinya , sangat membantu :)
BalasHapusIya sama sama, terimakasih sudah berkunjung
Hapus